Menyandang status sebagai single parent, bukanlah impian seorang wanita manapun. Akan tetapi bila keadaan itu sebuah pilihan baginya, apa boleh buat?. Mau tidak mau harus tetap dijalani.Ku sikapi hal itu dengan lapang dada, karena aku sendiri yang menginginkannya. Membesarkan Khaira sendirian adalah kebahagian yang ingin ku buktikan pada Mas Basit. Kepedihan yang ku alami sepeninggalnya membuatku sempat terbelenggu pada pahitnya hidup sebagai janda. Kesan sana sini yang menyudutkan, menghantui langkah membuatku memilih diam, tak kupikirkan yang lain. Hanya satu, membesarkan dan membahagiakan Khaira dengan kasih sayangku. Meski tanpa sosok Mas Basit di sampingnya. Senyum manis Khaira memberiku ketegaran yang belum tentu orang lain mampu berikan. Celotehnya yang mengemaskan kadang membuat hatiku merindukan keberadaan Mas Basit. Tapi aku bisa berpikir realistis, inilah kenyataan hidupku. Menjanda di usia muda. Kedukaan yang menyisakan kesepian dihatiku juga Khaira. Aku tak bisa menyalahkan siapapun, ini adalah Takdir-Nya.
Mas Basit telah memberiku kenangan terindah yang tak akan ku abaikan. Cinta dan tanggung jawab terhadap agama dan keluarganya adalah cermin sosoknya. Khaira selalu mengingatkanku pada Mas Basit. Peristiwa itu masih membekas hingga kini, yang memaksaku untuk kehilangan Mas Basit selamanya.
Setahun yang lalu bukanlah waktu yang lama. Mas Basit pamit padaku hendak memenuhi undangan sahabatnya . Dimintai tolong untuk memimpin doa acara Aqiqah anak pertama sahabat karibnya semasa kuliah di Surabaya. Aku pun tak keberatan, hanya doa yang bisa aku panjatkan untuk melepas kepergiannya. Aku tidak ikut serta, karena Khaira masih bayi. Sehingga hanya Mas Basit yang datang. Masih aku ingat pesannya sebelum pergi.
“ Ayah pergi dulu ya, sayang! Jangan nakal sama Bunda!” seraya mengecup kening Khaira dengan lembut yang ada digendonganku.
Aku bahagia menatap sikap dan perlakuan Mas Basit pada Khaira. Kasih sayang yang tulus untuk buah cinta kami. Khaira pun mengerti akan perhatian ayahnya, dia membalasnya dengan seulas senyum yang mengemaskan dan membuat kami bangga memilikinya. Anak adalah amanah dari-Nya yang harus di jaga, karena kelak akan dimintai pertanggung jawabanya di akhirat kelak. Sebagai seorang istri dan juga ibu, aku memiliki peranan yang tidak mudah.
“ Hati-hati di jalan ya, Mas! Kami menunggumu pulang!” hanya pesan singkat sebagai tanda perhatianku padanya juga mengikhlaskan kepergiannya kali ini.
“ Terima kasih ya, Dik. Jangan lupa doakan Mas dan jaga baik-baik Khaira.” Balasnya sambil mengecup keningku mesra tanda kasih sayang seorang suami sekaligus ayah pada istri dan ibu dari anaknya. Aku membalasnya dengan mencium tangan dan senyuman. Menatapnya keluar rumah hingga tak terlihat oleh pandanganku. Sebagai istri dan juga ibu tentulah sebuah doa akan terpanjatkan untuk orang-orang yang dicintainya. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat di tolak. Kepergian Mas Basit itulah awal musibah yang menimpaku. Kurang 1 Km dari tempat tujuan, sepeda motor Mas basit di srempet sebuah bus antar kota jurusan Surabaya-Malang. Nyawa Mas Basit tak tertolong lagi, karena kehabisan darah. Otaknya mengalami pendarahan yang hebat. Aku yang mendengar kabar hal itu dari teman Mas Basit. Tubuhku langsung lunglai, tak tahan menghadapi kenyataan pahit hidup ini. Seketika dunia yang semula cerah kini menjadi gelap gulita.**
Ketika aku terjaga,
, begitu banyak orang di sekelilingku. Air mataku kembali membuncah. Kulihat tatap duka di wajah orang-orang terdekat. Saat itu orang yang pertama aku tanyakan adalah Khaira bidadari kecilku.
“ Ra, dimana anaku?”tanyaku pilu pada Zahra teman karibku.
“ Tenang, Fa. Dia ada dalam pangkuan Ibumu! Yang sabar dan tabah ya!” sahutnya berusaha menenangkanku.
“ Aku ingin melihatnya, Ra. Tolong bawa ke sini, aku ingin memeluknya.” Aku memohon pada Zahra sambil tetap meneteskan air mata. Kepahitan hidup yang tak pernah kubayangkan sedikitpun kini menimpaku.
“ Iya sebantar, aku panggilkan Ibumu!” Zahra berlalu dari kamarku menemui Ibu.
Aku kembali tak kuasa saat Khaira benar-benar ada dipangkuanku, kuusap kepalanya dengan kelembutan, ku ciumi wajahnya yang menggemaskan. Hatiku kian di dera duka mendalam dengan kepergian Mas Basit. Kini aku telah menjanda dan Khaira bidadariku menjadi yatim.**
Seorang Ibu yang hanya memiliki ketegaran hati, yang sanggup menerima kenyataan hidup apapun. Kepergian Mas Basit satu tahun silam, memberiku pelajaran yang berharga. Tetap semangat menghadapi hari esok apapun yang terjadi. Kini Khaira mulai beranjak. Di usia 2 tahun adalah lincah-lincahnya bergerak kesana-kemari setelah bisa berjalan.Dia jadi lebih aktif. Aku ingin selalu ada di sampingnya mengamati dan melewati masa-masa indahnya dia berkembang. Aku berusaha menata kembali jalan hidup ini.Masih ada Khaira yang menguatkan batinku, setelah kepergian Mas Basit. Entah, jadi apa seandainya tidak ada Khaira di sampingku. Mungkin aku akan tetap terpuruk dalam duka yang berkepanjangan.
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuaku di Malang. Rumah kontrakan di Pasuruan, aku kembalikan pada pemiliknya. Ku memulai kembali kehidupan yang masih panjang dengan Khaira di tanah kelahiranku. Hatiku pun jauh lebih tenang dekat dengan keluarga besarku. Aku juga tidak akan memutuskan tali silahturahmiku pada keluarga mas Basit, karena bagaimana pun Khaira adalah cucu mereka. Apalagi Khaira cucu perempuan pertama dalam keluarga Mas Basit, tentunya menjadi cucu kesayangan bagi mereka.**
Mentari menyapaku dengan ramah, ketika aku mengajak jalan-jalan Khaira di sekitar perumahan orang tuaku. Menikmati segarnya udara di kota Malang, tepatnya di Batu. Yang masih kurasakan dingin mengigit bila malam menjelang. Aku juga Khaira mulai beradaptasi lagi dengan suhu di rumah orang tuaku. Mengingat di Pasuruan udaranya panas banget. Aku akan mencoba melamar pekerjaan, yang sekiranya tidak menyita waktu terlalu banyak. Sehingga kebersamaanku dengan Khaira tak terganggu. Aku tidak mungkin terus mengandalkan uang tunjangan dari tempat Mas Basit mengajar sebagai dosen, yang tidak seberapa. Khaira masih banyak kebutuhannya. Untuk sementara waktu aku sedang bekarja, ku titipkan Khaira pada orang tuaku. Berat memang harus berpisah dengan Khaira, namun ini pilihan aku untuk tetap bertahan hidup, aku juga tidak bisa menggantungkan ekonomi pada orang tuaku.**
“ Latifa, apa kamu tidak ingin menikah lagi?” sebuah pertanyaan Zahra yang sempat terlontar begitu saja.
“ Menikah? Tentunya aku ingin, Ra.”
“ Lantas kenapa kamu tidak lagi menikah?” masih tetap itu pertanyaan yang memburu.
“ Aku masih belum siap.” Sebuah jawaban yang klise.
“ Fa, dimana letak ketidasiapanmu? Kamu masih muda, cantik, terpelajar dan sholehah. Tentunya masih banyak laki-laki yang tertarik padamu.” Penuturan panjangnya membuat pipiku merona merah karena pujian tersebut.
“ Tidak semudah itu, Ra. Tentunya kamu harus ingat akan statusku. Aku bukalah seorang gadis lagi, melainkan janda. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan.”sahutku
“ Mengenai Khaira juga ya?” tanyanya menyelidik
Aku hanya membalasnya dengan anggukan seraya tersenyum. Pertanyaan menikah kembali mengingatkan aku pada Mas Basit. Sulit rasanya aku harus mencari sosok penggantinya. Semua yang ada pada Mas Basit tak bisa kulupakan begitu saja, meski kini dia telah tiada. Tapi kadangkala aku merasa sedih dengan keadaan aku. Aku kehilangan suami dalam waktu yang relatif cepat. Padahal kebersamaanku dengan Mas Basit bisa dibilang masih sebentar, karena kami tidak menganut paham pacaran. Kenal lewat ta`aruf, cocok lantas memutuskan untuk menikah saja. Namun kesedihan yang aku alami tak seberapa di bandingkan dengan wanita lain. Mereka menjanda karena suaminya ketahuan selingkuh, kekerasan dalam rumah tangga bahkan pelecehan seksual yang tidak manusiawi. Aku masih lebih beruntung, Mas Basit meninggal karena tujuan yang mulia. Sehingga tidak seharusnya aku meratapi nasibku sebagai janda. Janda bukanlah sebuah aib tentunya, karena ini hanyalah pilihan hidup. Apalagi ada Khaira di sampingku. Bidadari kecil yang membuat hatiku damai dan tenang. Pasti Mas basit bahagia melihat kebersamaan kami dari dunianya. Annisa Khaira Basit akan selalu memberiku senyum manis yang menggemaskan kala hatiku merasa sepi. Aku akan tetap membesarkannya sendiri, meski belum ada laki-laki yang mampu menggantikan posisi Mas Basit di hati kami. Aku ingin kelak Khaira mendapatkan sosok ayah yang akan memberinya cinta dan kasih sayang yang sama tulusnya dari Mas Basit. Karena aku tidak ingin laki-laki itu hanya mencintaiku melainkan mencintai juga Khaira bidadari kecilku.
Hongkong, Mei 2008.Pkl: 1:30 AM
Ku persembahkan pada bidadari kecil yang menginspirsiku, Nabila Amar…
0 komentar:
Posting Komentar